Belajar dari Kisah Kasih Seekor Induk Trenggiling
"Naluri setiap orang tua adalah menjaga anaknya
meskipun yang ia lakukan akan membahayakan dirinya"
Suatu ketika, seorang pejabat beserta beberapa koleganya
sedang singgah di sebuah kota. Di kota tersebut, mereka melihat pedagang
kuliner yang sedang mempertontonkan proses penyembelihan trenggiling hidup
sampai memanggangnya. Pejabat dan koleganya merasa tertarik, mereka ingin
menyaksikan sendiri seluruh proses penyajian hidangan lezat itu.
Konon, setelah tertangkap, trenggiling yang ketakutan itu akan menunjukkan sikap defensifnya. Secara naluriah, trenggiling tersebut secara otomatis akan menggulung dirinya sendiri seerat mungkin, sampai membentuk lingkaran atau bola. Proses 'penyajian' hidangan trenggiling tersebut adalah sebagai berikut. Setelah dipilih pembeli, dengan sekuat tenaga penjual akan menarik trenggiling yang meringkuk tersebut hingga lurus. Setelah itu, mulai dilakukan proses pembelahan dada dan jugaperut. Bahkan, organ dalamnya pun dikeluarkan, kemudian dicuci bersih, dijepit dengan jepitan besi, dan kemudian dipanggang di atas bara api sampai semua sisik tebal pada tubuhnya pun rontok.
Dari banyaknya penjual tersebut, salah seorang penjual yang
memilih trenggiling berbadan gemuk telah bersiap menarik trenggiling tersebut
hingga lurus. Namun, walau sudah sekuat tenaga, ia masih tak mampu menarik
lurus trenggiling itu. Orang- orang yang menyaksikan menjadi heran, penjual
masih muda dan kuat pun merasa kehilangan muka, maka dibantinglah trenggiling
malang itu ke lantai dengan keras, sambil menjelaskan kalau trenggiling akan
membuka diri jika kesakitan.
Tidak disangka, bantingan berkali-kali itu malah membuat
trenggiling meringkuk lebih erat. Mata sipit trenggiling yang semula terlihat
ketakutan kini tertutup dengan rapat. Dari moncongnya yang mengalir darah segar,
tetapi tubuhnya tidak menjadi lurus sedikit pun. Malah melingkar dengan semakin
erat.
Rombongan pejabat yang menyaksikannya pun merasa tidak teg
melihat kondisi trenggiling tersebut. Mereka melambaikan tanga memberi isyarat
kepada sang penjual agar tidak meneruska proses tersebut. Namun, sang pemuda
penjual masih belum pu
diambillah jepitan besi, lalu trenggiling tersebut
diletakkan di atas api panggangan. Sisiknya yang keras menjadi rontok dan bau
terbakar pun menyebar luas, tetapi posisi trenggiling tetap tidak berubah.
Penjual itu pun merasa tidak lagi berdaya. Dia menggelengkan
kepala sambil berkata, "Trenggiling ini pasti bermasalah. Tidak layak
dikonsumsi!: Sambil membuangnya ke lahan pasir yang terletak di belakangnya.
Kemudian, dipilihnya lagi dua ekor trenggiling yang lain. Kali ini, proses
pengolahan berjalan lancar, tidak sampai 5 menit selesai.
Ketika salah seorang dari rombongan pejabat tersebut sedang
membayar, tanpa sengaja dilihatnya trenggiling nahas yang dibuang di atas pasir
tadi. Perlahan- lahan, treinggiling itu meluruskan tubuh- nya, kelopak matanya
terbuka sedikit, disusul dengan beberapa kedutan yang membuat tubuhnya lurus
dan kaku, hingga akhirnya tak bernyawa lagi.
Seiring tubuhnya menjadi lurus, mereka dikejutkan oleh
gerakan lembut dari perut sang trenggiling yang terkapar. Muncul seekor
trenggiling kecil yang tubuhnya transparan hanya sebesar tikus. Perlahan ia
membuka mulut kecilnya, seakan memanggil induknya yang sudah tak bernyawa.
Pemandangan tersebut membuat semua orang terpana.Bayangkanlah,
berat badan trenggiling itu tidak lebih dari 5 kg. Tubuhnya telah mengalami
bantingan dan pembakaran, tetapi sampai napas terakhir, trenggiling tersebut
masih saja melindungi anaknya. Tubuh yang telah terpanggang hingga setengah matang,
serta sisik yang rontok karena sengatan panas api ini tak menghalangi sang
induk untuk tetap melindungi keutuhan jiwa dan raga anaknya. Kekuatan semangat
yang dimiliki oleh trenggiling tersebut telah jauh melampaui batas kehidupan.
'Cinta Kasih' induk hewan saja bisa menjadi begitu
mengharukan. Apalagi, cinta kasih dari ibu seorang manusia, pastinya akan lebih
menyentuh hati".